Teknik energy terbaeukan
10
PROSES
PEMBUATAN BIOETHANOL BERKADAR 90 % DARI BAHAN BAKU UBI KAYU (SINGKONG-CASSAVA)
1. SEKILAS TENTANG BIOETHANOL
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan
gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara
umum Ethanol lebih dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang
diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) seperti
ubi kayu,ubi jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang kemudian
dipopulerkan dengan nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah tanaman atau
buah yang mengandung gula seperti tebu,nira,buah
mangga,nenas,pepaya,anggur,lengkeng,dll. Bahan berserat (selulosa) seperti
sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu alternatif
penghasil ethanol. Bahan baku tersebut merupakan tanaman pangan yang biasa
ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis tanaman
tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber
bahan baku pembuatan bioethanol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi
kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi
bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku
proses produksi bioethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi.
Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi
harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya
pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku
untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
2. PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL
Produksi ethanol/bioethanol (atau alkohol)
dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan
melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi
bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi
bioethanol ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes
Menjadi Bio-Ethanol
Bahan Baku
|
Kandungan Gula Dalam Bahan Baku
(Kg)
|
Jmlh Hasil Konversi Bioethanol
(Liter)
|
Perbandingan Bahan Baku dan
Bioethanol
|
|
Jenis
|
Konsumsi (Kg)
|
|||
Ubi Kayu
|
1000
|
250-300
|
166,6
|
6,5 : 1
|
Ubi Jalar
|
1000
|
150-200
|
125
|
8 : 1
|
Jagung
|
1000
|
600-700
|
200
|
5 : 1
|
Sagu
|
1000
|
120-160
|
90
|
12 : 1
|
Tetes
|
1000
|
500
|
250
|
4 : 1
|
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)
enzyme
(pati) ------------------------------------ (glukosa)
(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)
enzyme
(pati) ------------------------------------ (glukosa)
(C6H12O6)n ----------------------------2 C2H5OH
+ 2 CO2. (2)
yeast (ragi)
(glukosa) -------------------------------- (ethanol)
yeast (ragi)
(glukosa) -------------------------------- (ethanol)
Selain ethanol/bioethanol dapat diproduksi dari
bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi
dari bahan tanaman yang mengandung selulosa (mis: jerami padi), namun dengan
adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga
pembuatan ethanol/bioethanol dari selulosa sementara ini tidak kami
rekomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik
yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bioethanol untuk bahan bakar kendaraan
memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang
relatif baru di Indonesia antara lain mengenai
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan Sakarifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan Sakarifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
I. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa
didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula
sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang
menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain
sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada
jenis bahan bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong (ubi
kayu). Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk memecahkan
susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.
II. Liquifikasi dan Sakarifikasi
Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati
pada bahan baku singkong dikonversi menjadi gula komplex menggunakan Enzym Alfa
Amylase melalui proses pemanasan (pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius
(hidrolisis). Pada kondisi ini tepung akan mengalami gelatinasi (mengental
seperti Jelly). Pada kondisi optimum Enzym Alfa Amylase bekerja memecahkan
struktur tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin). Proses Liquifikasi
selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses berubah menjadi
lebih cair seperti sup. Sedangkan proses Sakarifikasi (pemecahan gula kompleks
menjadi gula sederhana) melibatkan tahapan sebagai berikut :
-Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum
Enzym Glukosa Amylase bekerja.
-Pengaturan pH optimum enzim.
-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).
-Pengaturan pH optimum enzim.
-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).
|
|
III. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah
menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula
berkisar antara 5 hingga 12 %. Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi
(yeast) pada cairan bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup
(fermentor) pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun
waktu 5 hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses
membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba
lainnya. Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga
fermentasi harus pada kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi akan
menghasilkan cairan etanol/alkohol dan CO2.
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol
berkadar rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar
ethanol max 10 % ragi menjadi tidak aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan
beakibat racun bagi ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.
IV. Distilasi.
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah
penyulingan dilakukan untuk memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil
fermentasi. Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan
titik didih alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang
bertitik didih 100 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan
dialirkan kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol.
Kegiatan penyulingan ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan
proses produksi bioethanol. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator
yang sudah menguasai teknik penyulingan ethanol. Selain operator, untuk mendapatkan
hasil penyulingan ethanol yang optimal dibutuhkan pemahaman tentang teknik
fermentasi dan peralatan distillator yang berkualitas.
Penyulingan ethanol dapat dilakukan dengan 2
(dua) cara :
1. Penyulingan menggunakan teknik dan
distillator tradisional (konvensional). Dengan cara ini kadar ethanol yang
dihasilkan hanya berkisar antara antara 20 s/d 30 %.
2. Penyulingan menggunakan teknik dan
distillator model kolom reflux (bertingkat). Dengan cara dan distillator ini
kadar ethanol yang dihasilkan mampu mencapai 60-90 % melalui 2 (dua) tahapan
penyulingan.
V. Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 %
belum dapat larut dalam bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan
ethanol berkadar 99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Untuk pemurnian
ethanol 95 % diperlukan proses dehidrasi (distilasi absorbent) menggunakan
beberapa cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan batu gamping 2. Cara Fisika
ditempuh melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit Sintetis. Hasil dehidrasi
berupa ethanol berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat dikatagorikan sebagai Full
Grade Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor sesuai
standar Pertamina. Alat yang digunakan pada proses pemurnian ini disebut
Dehidrator.
V. Hasil samping penyulingan ethanol.
Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol
menghasilkan limbah padat (sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek
terhadap pencemaran lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah
menjadi pupuk kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk
bakar dan pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair.
Dengan demikian produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan
dengan dampak lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar